Selasa, 26 Januari 2010

Melihat Madura Dari Atas

Selama ini saya mengira bahwa pulau Madura itu gersang, tandus, berbatu, sehingga sulit ditanami apa saja. Penduduknya terlalu padat, sehingga menjadikan sebagian mereka migrasi ke luar. Karena itulah orang-orang madura ada di mana-mana. Umumnya mereka bertani, nelayan, dan berdagang hingga menguasai pasar di berbagai kota. Mereka meninggalkan pulau tanah asalnya, karena tidak mungkin bisa hidup makmur di tanah kelahirannya.


Anggapan saya tersebut ternyata tidak seluruhnya benar. Saya mengenal Madura, setelah beberapa kali datang ke beberapa kota, mulai dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Saya biasanya ke Madura dengan kendaraan darat, sehingga yang saya lihat, keadaan di sekitar jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang saya singgahi itu. Selama ini saya belum pernah,------kecuali beberapa, singgah ke kota-kota kecil setingkat kecamatan, sehingga tidak banyak tahu sampai ke sana. Saya hanya tahu di sekitar kota dan belum sampai masuk ke pedalaman.

Saya mengenal Madura sejak awal tahun 1980, mengikuti kegiatan pengembangan madrasah, bertugas sebagai petugas lapangan dalam penelitian pengembangan madrasah bekerjasama dengan Unicef. Selain penelitian, juga memberikan bantuan untuk menambah sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh madrasah. Orang Madura saya kenal, sangat menyukai masjid, pondok pesantren dan begitu pula madrasah.

Begitu cinta terhadap masjid, pesantren dan madrasah, jika mereka dibantu untuk pembangunan fasilitas pendidikan, sekalipun tidak diawasi pelaksnaan pembangunannya, hasilnya selalu berlebih. Katakan jika pembangunan gedung madrasah untuk ukuran tertentu, misalnya menurut tafsiran memerlukan dana 50 juta, maka jika mereka diberi dana sebesar itu dan disuruh mengerjakan sendiri, maka hasilnya akan jauh lebih besar dari target itu. Tatkala mendapatkan sumbangan, mereka akan mengembangkan sendiri, melalui berbagai cara yang mereka bisa lakukan. Mereka tidak mau main-main dengan masjid, madrasah dan pondok pesantren. Inilah sedikit pengalaman saya dalam kegiatan pengembangan pendidikan di beberapa kabupaten itu.

Selain lewat kendaraan darat, saya pernah melihat Pulau Madura lewat pesawat terbang yang melintasi pulau itu. Setiap pergi ke Kalimantan atau ke Sulawesi, pulang dan pergi selalu melintas di atas pulau Madura. Akan tetapi, karena pesawat selalu terbang tinggi, pemandangan Pulau Madura tidak terlalu kelihatan. Yang terlihat dari jauh, apalagi pada musim kemarau, pulau itu kurang kelihatan subur. Tanah-tanah tampak dari jauh kurang kelihatan subur.

Berbeda dengan sebelumnya, kunjungan saya bersama Pak Menteri Agama dan seorang Deputi Menteri PU, ----Pak Saleh Lastukonsina, hari Sabtu, tanggal 16 Mei 2009, dengan menggunakan helikopter, Pulau Madura bisa saya lihat dengan lebih jelas. Pemandangan yang sangat bebas, dan terbang tidak terlalu tinggi, bisa melihat pulau itu lebih menyeluruh. Helikopter terbang rendah, dan tidak sebagaimana pesawat terbang ukuran besar. Sehingga, semua penumpangnya bisa melihat pemandangan yang sedemikian jelas.

Melalui kendaraan udara ukuran kecil itu, saya benar-benar bisa menikmati keindahan Madura. Sangat berbeda dengan kesan saya sebelumnya, ternyata Pulau Madura yang saya anggap gersang dan tandus, ternyata tidak demikian. Pulau Madura dilihat dari atas sangat indah. Puau itu terdiri atas bukit-bukit, lereng dan lembah yang indah. Bangunan rumah-rumah penduduk dilihat dari atas kelihatan bagus sekali. Tidak sebagaimana rumah-rumah penduduk di kota besar, -----tidak terkecuali di pusat kota Jakarta, Semarang, Surabaya, umumnya berdesak-desakan, dan berhimpit-himpit satu dengan lainnya.

Perumahan penduduk, yang sesungguhnya tidak diatur, mungkin menyesuaikan dengan pemilikan tanah masing-masing, justru kelihatan indah. Pemandangan indah itu menyeluruh, hampir semua wilayah yang bisa saya lihat. Memang rumah-rumah di pinggir jalan dan atau di pinggir pantai, juga sama dengan di tempat lain, yakni di kota-kota besar, tampak berhimpit-himpit. Tetapi rumah-rumah yang berada di di daerah-daerah pedalaman, dari atas kelihatan sedemikian indah. Antara rumah satu dengan lainnya, terdapat jarak. Antar rumah ditanam pohon-pohon, kebun dan tanaman-tanaman para petani. Memang jarak antar rumah itu tidak teratur, tetapi justru menampakkan keindahannya.

Keindahan itu bertambah, karena di sana-sini dibangun masjid besar kecil, tampak sekali, semula dari kubahnya. Merata, hampir semua wilayah yang saya lihat di Madura selalu ada tempat ibadah itu. Selain itu terdapat bangunan sekolah dan atau madrasah. Pabrik-pabrik ukuran kecil ada, tetapi hanya di perkotaan. Sefdamngkan di pedesaannya, tidak tampak. Mmelihat Madura dari atas, yang tampak rfumah-rumah besar kecil, masjid dan bangunan lembaga pendidikan.

Keindahan itu kelihatan lebih sempurna oleh banyak pohon-pohon di sana-sini. Hampir semua wilayah Madura jika dilihat dari atas, tidak mengesankan sebagai wilayah yang gersang. Mungkin karena di musim penghujan ini, sehingga semua tempat tampak menghijau dan sangat subur. Melihat Madura dari atas, sama sekali tidak mengesankan bahwa penduduk pulau itu termasuk kateori bertaraf ekonomi lemah, dan kemudian solusinya harus migrasi.

Saya pernah terlibat dalam diskusi pengembangan ekonomi Madura. Dalam diskusi itu, saya usul agar dalam jangka pendek, untuk meningkatkan ekonomi, bisa dikembangkan ternak kambing di sana. Pertimbangan saya, bahwa siapapun dan pada tingkat pendidikan apapun, mereka bisa dilatih berternak jenis binatang itu. Selain itu pasar juga masih terbuka luas. Usul saya tersebut, waktu itu ternyata hanya ditertawakan oleh banyak teman.

Pikiran tersebut dianggap lucu dan tidak akan mungkin berhasil menyelesaikan masalah ekonomi penduduk itu. Padahal usulan itu berdasar pada apa yang pernah saya lihat di beberapa tempat, satu di antaranya di Qunfudha. yakni bagian dari wilayah Saudi Arabia. Penduduk di daerah itu hidup dengan beternak kambing. Lokasi wilayah itu dari Jeddah kira-kira bisa ditempuh selama 7 jam jika dengan menggunakan kendaraan darat.

Saya lihat kehidupan masyarakat Qunfudha dengan berternak kambing sangat makmur. Rumah dan kendaraan mereka bagus-bagus. Begitu juga penampilan rakyatnya sama sekali tidak menggambarkan sebagai masyarakat miskin sekalipun hanya bekerja sebagai peternak kambing. Hanya saja memang, agar cukup dan bahkan bisa menjadi kaya, memelihara kambing jangan sampai jumlahnya kurang dari seribu ekor. Paling sedikit lima ratus ekor. Jika kurang dari itu, hasilnya tidak akan mencakupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ketika itu, saya membayangkan, jika orang-orang berekonomi lemah di pedesaan daerah Madura dimodali bibit kambing, dalam jumlah yang cukup, misalnya, setiap keluarga disediakan 50 ekor, maka akan berkembang. Tentang penyediaan makanan ternak, saya kira tidak akan mengalami kesulitan. Tanah di Madura dan di seluruh negeri ini masih sangat luas dan mudah ditanami rumput, tidak sebagaimana di Qunfudha yang jauh lebih gersang. Saya ketika mengajukan usul itu, juga membayangkan apa yang dilakukan oleh orang-orang di New Zeland. Di negeri itu jumlah penduduknya yang diperkirakan hanya antara tiga sampai empat juta, memiliki ternak tidak kurang dari satu milyard ekor. Atas dasar pengalaman itu ------baik di Qunfudha maupun di New Zeland, masyarakat pedesaan di Madura pun bisa didorong untuk beternak kambing.

Pandangan saya waktu itu memang agak berbeda dengan pikiran teman-teman. Pikiran saya ketika itu dinilai sangat pragmatis, ------hanya usul pelihara kambing, dianggap katrok ------ndeso, sederhana, kampungan dan seterusnya. Beberapa teman mengusulkan agar masyarakat di pulau itu diberi beasiswa, diperkenalkan dengan kursus-kursus teknik informatika, managemen keuangan, berbankan, bengkel dan seterusnya. Mungkin pendapat teman saya itu betul, bahwa dunia modern selalu berurusan dengan ketrampilan tersebut. Akan tetapi pertanyaannya adalah, apakah idea-idea tersebut tepat untuk menyelesaikan persoalan jangka pendek ini. Siapa pun sesungguhnya akan menganggap bahwa ketrampilan informatika, komputer dan seterusnya itu adalah penting. Akan tetapi bagi masyarakat pedesaan, kiranya kebutuhan itu belum terlalu mendesak. Berangkat dari sini saya melihat bimbingan dan pemberian modal beternak bagi masyarakat desa justru lebih strategis, sebagaimana di Qunfudha dan juga di New Zeland.

Setelah menyaksikan sendiri wilayah Madura dari atas, yang kelihatan sedemikian indah itu, saya menjadi lebih percaya bahwa bangsa ini sesungguhnya memiliki prospek yang sangat cerah ke depan. Saya lebih optimis lagi, jika saya kemudian membandingkan daerah itu dengan daerah-daerah di Afrika. Di benua itu kemana-mana jika kita naik pesawat, kemudian pesawat udara itu terbang rendah, maka sepanjang mata memandang hanya tampak padang pasir, batu, dan tanah-tanah tandus. Madura yang selama ini saya anggap tandus pun, ternyata ketika saya lihat dari atas, masih tampak sedemikian subur dan indahnya. Apalagi pulau-pulau lainnya, yang selama ini sudah dikenal kesuburannya.

Hanya saja, setelah belajar dari berbagai tempat, saya berkesimpulan bahwa kunci utama keberhasilan dalam membangun bangsa ini, bukan hanya terletak pada SDM dan SDA, tetapi lebih utama adalah pada para pemimpinnya. Pemimpin bangsa harus berjiwa besar, mau bersatu, kompak, saling bekerjasama dan ada kesediaan untuk berkorban. Berapapun modal dasar yang dimiliki, -------baik berupa SDM maupun Sumber Daya Alam yang melimpah, jika bangsa ini tidak mampu bersatu, utamanya dari para pemimpinnya, maka semua potensi itu tidak akan memberi makna apa-apa.

Belajar dari Rasulullah, tatkala beliau memulai menunaikan tugasnya sebagai Rasul, membangun bangsa Arab, di antaranya mengambil strategi dalam bentuk menyatukan berbagai kelompok yang berbeda. Yaitu, menyatukan kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Tidak sebatas itu saja, Rasulullah juga membuat perjanjian-perjanjian menyatukan antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi dan orang-orang yang memeluk agama lainnya. Kunci keberhasilan dalam membangun masyarakat adalah menyatukan. Kita pun akan sukses dalam membangun negeri ini, jika yang satu ini, yakni persatuan bisa dipelihara sebaik-baiknya. Wallahu a’lam.

Sumber :
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=989:18-05-2009&catid=25:artikel-rektor
18 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar